Surga adalah tempat terindah yang diidamkan oleh setiap
orang beriman. Di dalamnya terdapat berbagai kenikmatan dan kenyamanan yang
belum pernah dirasakan manusia selama hidup di dunia.
Allah berfirman:
أصحاب الجنة يومئذ خير
مستقرا وأحسن مقيلا
“Penghuni-penghuni surga pada hari itu paling baik tempat
tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya.” (QS Al-Furqan [25]: 24).
Sebagai hadiah spesial, surga tentu tak bisa dimasuki oleh
setiap orang begitu saja. Ia punya kriteria dan syarat khusus untuk bisa
menikmatinya. Setidaknya bekal yang dibutuhkan dianggap cukup oleh Allah untuk
mendapat izin masuk ke dalam surga.
Allah berfirman:
وأزلفت
الجنة للمتقين غير بعيد
، هذا ما
توعدون لكل أواب حفيظ
، من خشي
الرحمن بالغيب وجاء بقلب
منيب
“Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang
bertakwa pada tempat yang tidak jauh dari mereka. Inilah yang dijanjikan
kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi
memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada
Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang
dengan hati yang bertaubat.” (QS. Qaf [50]: 31-33).
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dalam Kitab Al-Fawaaid menjelaskan
empat ciri calon penghuni surga. Sebagai janji dari Allah untuk mendekatkan
surga kepada orang-orang bertakwa dengan ciri-ciri tersebut.
Berikut empat ciri calon penghuni surga tersebut:
Pertama, Awwab. Yaitu orang yang kembali kepada Allah dari
kemaksiatan. Dalam makna lain disebutkan, pulang kepada dzikrullah setelah
melalaikan-Nya.
Ubaid ibn Umair menjelaskan, awwab adalah yang mengingat
dosa-dosanya lalu beristighfar dan bertobat. Sedang Imam Mujahid mengatakan
awwab adalah orang yang mengenang kesalahannya saat sendirian, ia memohon
maghfirah kepada Allah.
Melakukan kesalahan adalah keniscayaan bagi manusia. Tapi
hal itu bukan alasan untuk tenggelam dalam kesalahan atau dosa tanpa perbaikan.
Dengan memperbanyak istighfar, seorang hamba bisa terhindar dari memikul beban
yang berat dan selalu menemukan jalan keluar dari setiap permasalahan.
Allah berfirman:
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan
keji atau menzalimi sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan
atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain
Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka
mengetahui.” (QS. Al-Imran [3]: 135).
Kedua, Hafidz (Memelihara aturan-aturan Allah). Ibn Abbas
mengatakan bahwa maksud dari “memelihara semua peraturan Allah” ialah
memelihara apa-apa yang diamanatkan oleh Allah kepadanya dan apa-apa yang
difardhukan atasnya.
Qatadah berucap, memelihara semua peraturan Allah adalah
memelihara semua hak dan nikmat Allah padanya. Nafsu itu memiliki dua kekuatan.
Kekuatan untuk menuntut dan kekuatan untuk menahan.
Seorang awwab menggunakan kekuatan untuk menuntut tersebut
dalam mendorong dirinya kembali ke jalan Allah. Sedangkan kekuatan untuk
menahan itu dipakai untuk menghindari berbagai kemaksiatan dan larangan Allah.
Ibarat sebuah tanaman, ketika keimanan tersebut dibiarkan
begitu saja dan tak dipelihara maka perlahan pohon keyakinan itu menjadi layu.
Sebaliknya, jika keimanan tersebut
disiram, diberi pupuk dan dipelihara dengan baik, niscaya keyakinan itu tumbuh
subur dan dapat dipetik hasilnya.
Terlebih karena secara mendasar, keimanan itu bersifat
fluktuatif. Kadang ia mendaki naik namun tak sedikit iman itu terpelanting
jatuh hingga nyaris berada di bibir jurang yang dalam. Olehnya, memupuk
keimanan kita dengan amal shaleh adalah keniscayaan bagi seorang Muslim.
Ketiga, khasyyah. Secara bahasa khasyyah adalah takut.
Khasyyah adalah rasa takut seorang hamba yang disebabkan ilmu yang dimilikinya
terhadap hal yang ditakuti.
Semakin besar rasa khasyyah, kian besar rasa cinta seorang
hamba kepada Allah. Dengan rasa tersebut, seorang hamba melakukan semua amalan
yang diperintahkan demi menunjukkan cintanya kepada Allah.
Sebagaimana, rasa khasyyah dapat meminimalisasi perbuatan
maksiat seorang hamba. Karena ia merasa bahwa Allah ada di mana-mana dan
mengawasi tingkah lakunya sehingga dia takut untuk melakukan perbuatan maksiat.
Keempat, Hati yang inabah. Ibn Abbas mengatakan, maksudnya
ialah datang dengan hati yang kembali kepada Allah dari kemaksiatan. Karena
hakikat inabah adalah menghadapnya qalbu kepada ketaatan kepada Allah.
Inabah merupakan inti dari ibadah yang agung. Allah
mensifati para Nabi serta hamba yang beriman dengan sifat inabah ini. Allah
berfirman:
“Dan sungguh, Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan
(dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian
dia bertobat.” (QS. Shad [38]: 34).
Lebih jauh Ibn al-Qayyim menambahkan, inabah adalah kembali
menggapai ridha Allah dengan disertai taubat serta mengikhlaskan niat. Inabah
merupakan pintu kebahagiaan untuk memperoleh hidayah dari Allah.
Demikian empat ciri calon penghuni surga yang terangkum
dalam al-Qur’an. Semoga menjadi motivasi bagi setiap Muslim untuk memilikinya
sekaligus menjadi jalan menuju pintu surga yang dijanjikan Allah. Amin.
Arsyis Musyahadah, pengajar STISHID Balikpapan
0 on: "EMPAT CIRI CALON PENGHUNI SURGA"